PEMDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa
merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Bahasa merupakan
alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap
perkataan yang diucapkan. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa sentiasa
dianalisis dan dikaji dengan menggunakan perbagai pendekatan untuk mengkajinya.
Antara lain pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah
pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang linguistik yang mempelajari
tentang makna.
Kata semantik
berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign).
“Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel
Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang
digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda
linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik
dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu
dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer,
1994: 2).
Bidang studi
liguistik yang objek penelitiannya makna bahasa merupkan satu tataran
linguistik. Semantik dengan objeknya yaitu makna, berada di seluruh atau
disemua tataran yang bangu-membangun ini : makna berada didalam tataran
fonologi, morfologi dan sintaksis. Semantik bukan satu tataran dalam arti unsur
pembangun satuan lain yang lebih besar, melainkan unsur yang berada pada semua
tataran itu, meski sifat kehadiranyapada tiap tataran itu tidak sama.
Bahasa
merupakan media komunikasi yang paling efektif yang dipergunakan oleh manusia
untuk berinteraksi dengan individu lainnya. Bahasa yang digunakan dalam
berinteraksi pada keseharian kita sangat bervariasi bentuknya, baik dilihat
dari fungsi maupun bentuknya. Tataran penggunaan bahasa yang dipergunakan oleh
masyarakat dalam berinteraksi tentunya tidak lepas dari penggunaan kata atau
kalimat yang bermuara pada makna, yang merupakan ruang lingkup dari semantik.
Pada makalah
ini akan dijelaskan apa sebenarnya makna sebagai objek linguistik dan bagaimana
persoalannya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Relasi Makna
Relasi makna
adalah hubugan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu
dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa disini dapat berupa
kata frase maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan
makna. Pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna atau juga
kelebihan makna. Pada dasarnya prinsip relasi makna ada empat jenis, yaitu :
1. Prinsip kontiguitas yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa
beberapa kata dapat memiliki makna sama atau mirip. Prinsip ini dapat
menimbulkan adanya relasi makna yang disebut sinonimi.
2. Prinsip komplementasi yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa makna kata yang
satu berlawanan dengan makna kata yang lain. Prinsip ini dapat menimbulkan
adanya relasi makna yang disebut antonimi.
3. Prinsip overlaping yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa satu kata memiliki
makna yang berbeda atau kata-kata yang sama bunyinya tetapi mengandung makna
berbeda. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut
homonimi dan polisemi.
4. Prinsip inklusi yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa makna satu kata
mencakup beberapa makna kata lain. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi
makna yang disebut hiponimi.
A. Sinonimi
Sinonim :
hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna
antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Relasi sinonim ini bersifat dua arah, maksudnya jika ujaran A bersinomnim dengan B maka B bersinonim dengan A.Contoh : benar = betul, sama dengan betul = benar.
antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Relasi sinonim ini bersifat dua arah, maksudnya jika ujaran A bersinomnim dengan B maka B bersinonim dengan A.Contoh : benar = betul, sama dengan betul = benar.
Faktor
ketidaksamaan dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan sama persis
adalah :
a. Faktor waktu, contoh : hulubalang
dan komandan
b. Faktor tempat, contoh : saya dan
beta
c. Faktor keformalan, contoh : uang
dan duit
d. Faktor sosial, contoh : saya dan
aku
e. Faktor bidang kegiatan, contoh :
matahari dan surya
f. Faktor nuansa makna, contoh :
melihat, melirik, menonton
B. Antonimi
Istilah antonimi digunakan untuk makna yang bertentangan. Tarigan (1985: 36)
mengemukakan antonimi adalah kata yang mengandung makna yang berkebalikan atau
berlawanan dengan kata lain. Verhaar (1983: 133) mengatakan: “Antonimi adalah
ungkapan (biasanya kata, tetapi dapat juga frase atau kalimat) yang dianggap
bermakna kebalikan dari ungkapan alain.” Sedangkan menurut Palmer (1976: 94)
antonimi sering dianggap sebgai lawan sinonim. Secara sederhana dapat dikatakan
istilah antonimi digunakan untuk menyatakan kata-kata yang berlawanan maknanya.
Crystal
(dalam Ba’dulu, 2001:25) antonimi merujuk secara kolektif kepada semua jenis
perlawanan semantis. Antonim adalah hubungan semantik dua
buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan dengan
ujaran yang lain.Contoh : hidup x mati
Jenis antonim :
a. Antonim yang bersifat mutlak,
contoh : diam x bergerak
b. Antonim yang bersifat relatif /
bergradasi, contoh : jauh x dekat
c. Antonim yang bersifat relasional,
contoh : suami x istri
d. Antonim yang bersifat hierarkial,
contoh : tamtama x bintara
Menurut
Hurford dan Heasly (dalam Ba’dulu, 2001: 25) pandangan tradisional tentang
antonimi yang menyatakan bahwa antonimi semata-mata merupakan perlawanan arti
adalah keliru. Pandangan ini tidak memadai, karena kata-kata mungkin berlawanan
dalam artinya secara berbeda-beda, dan beberapa kata tidak mempunyai perlawanan
yang nyata. Contoh: hot bukan lawan dari cold dengan cara yang sama dengan
borrow sebagai lawan dari lend. Demikian pula, thick bukan lawan dari thin
dengan cara yang sama dengan dead sebagai lawan dari live.
Sehubungan
dengan hal yang telah dikemukakan di atas, Hurford dan Heasly (dalam Ba’dulu,
2001: 25) membagi antonim ke dalam empat jenis, yaitu:
a. Antonimi
biner, adalah predikat-predikat yang muncul berpasang-pasangan, dan di
antaranya tercakup semua kemungkinan yang relevan. Jika satu predikat dapat
diaplikasikan, maka predikat lainnya tidak dapat diaplikasikan, demikian pula
sebaliknya. Contoh: tua dan muda); panjang dan pendek. Kadang-kadang dua
antonim biner yang berbeda dapat berkombinasi dalam suatu himpunan predikat
untuk menghasilkan suatu kontras empat. Contoh: laki-laki (man), anak
laki-laki), perempuan), dan gadis apabila dimasukkan ke dalam kotak-kotak
berikut:
b. Konversi
(Converses), adalah jika suatu predikat memerikan suatu hubungan yang sama
apabila kedua benda atau orang itu disebutkan dalam urutan yang berlawanan,
maka kedua predikat itu merupakan konversi antara satu dengan yang lainnya.
Contoh: orang tua dan anak adalah konversi karena X adalah orang tua dari Y
(urutan yang satu) memerikan situasi atau hubungan yang sama seperti Y adalah
anak X (urutan yang berlawanan).
c. Gradabel
(Gradable antonyms), adalah dua predikat merupakan antonim bertingkat jika
keduanya berada pada ujung yang berlawanan dari suatu skala nilai yang
berkesinambungan, yaitu suatu skala yang bervariasi menurut konteks pemakaian.
Contoh: tua dan anak-anak
Contoh: tua dan anak-anak
Di antara
tua dan anak-anak terdapat suatu skala nilai yang berkesinambungan, yang dapat
diberikan nama-nama seperti remaja dan dewas. Apa yang disebut tua dalam suatu
konteks, misalnya: umur orang (jompo)dalam konteks lain adalah matang (
buah-buahan) sudah dapat dipetik. Contoh lain: tinggi dan rendah; panjang dan
pendek; serta pintar dan bodoh.Untuk mengkaji antonim-antonim bertingkat ini,
kita dapat mengkombinasikannya dengan kata sangat , sangat banyak , bagaimana ,
atau berapa banyak.
d.
Kontradiksi, adalah suatu proposisi merupakan suatu kontaradiktori dari
preposisi lain jika tidak mungkin bagi keduanya benar pada saat yang sama dan
pada peristiwa yang sama pula. Definisi ini dapat diperluas ke kalimat. Jadi,
suatu kalimat yang mengungkapkan satu proposisi adalah kontradiktori dari suatu
kalimat yang mengungkapkan proposisi yang lain jika tidak mungkin bagi kedua
proposisi itu benar pada saat yang sama dan pada peristiwa yang sama pula.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa suatu kalimat berlawanan dengan kalimat
lain jika kalimat itu menghasilkan negasi kalimat yang lainnya. Contoh: Pak
Arya pengusaha kaya kontradiksi dengan Pak Udin petani miskin.
Selanjutnya,
Verhaar (dalam Chaer, 1997: 26) membedakan antonim berdasarkan sistemnya,
yaitu:
a. Antonim antarkalimat, contoh: Dia
cantik dan Dia tidak cantik.
b. Antonim antarfrase, contoh:
secara teratur dan secara tidak teratur.
c. Antonim antarkata, contoh: kuat
dan lemah; kencang dan lambat.
d.Antonim antarmorfem, contoh:
thankful dan thankless (Inggris), yang berantonim adalah morfem ful dan les.
C. Polisemi
Polisemi
adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari satu atau kata
yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu aluran arti.
Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama ( yang didaftarkan kamus) adalah
makna leksikal, makna denotatif dan makna konseptualnya. Yang lainnya adalah
makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki
kata atau satuan ujaran itu. Oleh karena itu, makna pada polisemi masih
berkaitan satu sama lain.
Contoh:
• Ranbut di kepala nenek sudah putih.( Kepala
yang berarti bagian tubuh yang bagian atas)
• Pak Harjo adalah seorang kepala sekolah.( Kepala yang menyatakan
pimpinan)
D. Homonimi
Homonim adalah dua kata kebetulan bentuk, ucapan, tulisannya sama tetapi
beda makna.Contoh :
1. Bisa : Bisa yang berarti racun, Bisa yang berarti
dapat atau mampu.
Pada kasus homonimi ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu
homofon dan homograf. Homofon adalah dua kata yang mempunyai kesamaan bunyi tanpa memperhatikan
ejaanya, dengan makna yang berbeda.Contoh :
1.Bang : sebutan saudara laki-laki,
2. Bank : tempat penyimpanan dan pengkreditan uang
Homograf adalah dua kata yang memiliki ejaan sama, tetapi ucapan dan
maknanya beda. Contoh : 1. Apel : buah, 2. Apél : rapat, pertemuan.
Ada cara untuk menentukan homonimi dengan polisemi. Patokan pertama adalah
dua buah bentuk ujaran atau lebih yang kebetulan sama, dan maknanya tentu
berbeda, sedangkan polisemi sebuah ujaran yag memiliki makna lebih dari satu.
Makna dalam polisemi meski berbeda tetapi masih dapat dilacak secara etimologi
dan semantik bahwa makna itu masih mempunyai hubungan.
E. Hiponimi
Hiponimi adalah sebuah bentuk ujaran yang mencakup dalam makna bentuk ujaran
lain.Relasi makna bersifat searah. Contoh: antara kata jeruk dengan kata buah.
Disini makna kata jeruk tercakup dalam kata buah, tetapi buah bukan hanya jeruk
tapi bisa juga apel, mangga, pepaya dan jambu.
Hipernim adalah bagian dari hiponimi. Dengan
kata lain jika jeruk berhiponim dengan buah, maka buah berhipernim dengan
jeruk. Ada juga yang menyebut hiponom dengan superordinat. Sedangkan hubungan
antar jeruk, apel, mangga, dan jenis buah lainnya adalah kohiponim.
F. Ambiguiti atau Ketaksaan
Ambiguitas
adalah gejala yang terjadi akibat kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal
yang berbeda. Tergantung jeda dalam kalimat. Umumnya terjadi pada bahasa tulis,
karena bahasa tulis unsur suprasegmentalnya tidak dapat digambarkan secara
akurat. Contoh: Buku sejarah baru. Dapat diartikan (1) buku sejarah yang baru.
Dapat juga bermakna (2) buku tentang sejarah baru.
Ketaksaan
dapat juga terjadi bukan karena tafsiran gramatikal yang berbeda tetapi karena
masalah homonimi, sedangkan konteksnya tidak jelas. Contoh: Kami bertemu paus.
Dapat ditafsirkan, (1) ikan paus, dan (2) pemimpin agama katolik di Roma.
Ada juga
ketaksaan yang terjadi dalam bahasa lisan, meskipun intonasinya tepat.
Ketaksaan dalam bahasa lisan biasanya adalah karena ketidakcermatan dalam
menyusun kontruksi beranaforis. Contoh: Ujang dan Doni bersahabat karib. Dia
sangat mencintai istrinya. Dapat ditafsirkan (1) ujang mencintai istri ujang,
(2) Ujang mencintai istri Doni, (3) Doni mencintai istrinya, dan (4) Doni
mencintai istri Ujang. Ketaksaan ini terjadi karenakata ganti dia dan nya
tidak jelas mengacu pada siapa.
G. Redundansi
Redundansi
adalah berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk
ujaran. Contoh : Hamid menggenakan topi berwarna ungu, tidak akan berbeda
maknanya
Memang dalam
ragam bahasa baku kita dituntut untuk menggunakan kata-kata secara efisien, sehingga
kata berlebihan, sepanjang tidak mengurangi atau mengganggu makna ( lebih tepat
informasi), harus dibuang, tetapi dalam analisis semantik, setiap penggunaan
unsur segmental dianggap membawa makna masing-masing.
2.
Perubahan Makna
Dalam perubahan
makna selalu ada hubungan (asosiasi) antara makna lama dan makna baru, tidak
peduli apapun yang menyebabkan perubahan itu terjadi. Dalam beberapa hal,
asosiasi bisa begitu kuat untuk mengubah makna dengan sendirinya, sebagian lagi
asosiasi itu hanyalah suatu wahana untuk suatu perubahan yang ditentukan oleh
sebab-sebab lain tetapi bagaimanapun suatu jenis asosiasi akan selalu mengalami
proses. Dalam pengertian ini asosiasi dapat dianggap sebagai suatu syarat
mutlak bagi perubahan makna ( Stephen, 2007 : 263-264 ).
Dalam
sejarah ilmu semantik, teori asosiasi muncul dalam dua bentuk. Beberapa dari
ahli semantik awal mengakui suatu asosiasinisme yang sederhana, mereka mencoba
menjelaskan perubahan makna sebagai hasil asosiasi antara kata-kata yang diisolasikan
(berdiri sendiri). Pada beberapa dekade terakhir suatu pandangan yang lebih
maju berdasarkan prinsip-prinsip struktural telah meluas, perhatian telah
berubah dari kata-kata tunggal menjadi satuan-satuan yang lebih luas yaitu yang
disebut “medan asosiatif” yang mencakupi kata-kata tersebut.
1.
Sebab-sebab Perubahan Makna
Banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan makna suatu kata. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Perkembangan dalam ilmu dan teknologi
Dalam hal
ini sebuah kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai sesuatu yang
sederhana, tetap digunakan walaupun konsep makna yang dikandung telah berubah
sebagai akibat dari pandangan baru atau teori baru.
2) perkembangan sosial dan budaya
Dalam perkembangan sosial dan budaya kemasyarakatan turut memengaruhi
perubahan makna. Sebagai contoh kata saudara dalam bahasa sansekerta bermakna
seperut atau satu kandungan. Sekarang kata saudara walaupun masih juga
digunakan dalam artian tersebut tapi juga digunakan untuk menyebut siapa saja
yang dianggap sederajat atau berstatus sosial yang sama.
3) Pebedaan
bidang pemakaian
Kata-kata
yang menjadi kosa kata dalam bidang-bidang tertentu itu dalam kehidupan dan
pemakaian sehari-hari dapat juga dipakai dalam bidang lain atau menjadi kosa
kata umum. Sehingga kata-kata tersebut
memiliki makna yang baru, atau makna lain disamping makna aslinya.
4) Adanya
Asosiasi
Kata-kata
yang digunakan diluar bidangnya seperti dibicarakan pada bagian sebelumnya
masih ada hubungan atau pertautan maknanya dengan makna yang digunakan pada
idang asalnya. Agak berbeda dengan perubahan makna yang terjadi sebagai akibat
penggunaan dalam bidang yang lain, disini makna baru yang muncul adalah
berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut.
5) Pertukaran Tanggapan Indra
Dalam penggunaan bahasa banyak terjadi kasus pertukaran tanggapan antara
indera yang satu dengan indera yang lain. Rasa pedas, misalnya yang seharusnya
ditanggap dengan alat indera perasa pada lidah tertukar menjadi ditanggap oleh
alat indera pendengaran seperti tampak dalam ujaran kata-katanya cukup pedas.
6) Perbedaan Tanggapan
Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai
makna leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma
kehidupan di dalam masyarakat maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa
yang rendah, kurang menyenangkan. Di samping itu ada juga yang menjadi memiliki
nilai rasa yang tinggi atau menyenangkan. Kata-kata yang nilainya merosot
menjadi rendah ini disebut dengan istilah peyoratif sedangkan yang nilainya
naik menjadi tinggi disebut ameliorative.
7) Adanya
Penyingkatan
Dalam bahasa
Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang karena sering digunakan maka
kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang sudah
mengerti maksudnya. Oleh karena itu kemudian
banyak orang menggunakan singkatannya saja daripada menggunakan bentukya secara
utuh.
8) Proses Gramatikal
Proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi akan menyebabkan
pula terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang terjadi sebenarnya
bukan perubahan makna sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil proses
gramatikal dan proses tersebut telah melahirkan makna-makna gramatikal.
9) Pengembangan
Istilah
Salah satu
upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan
memanfaatkan kosa ata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan member makna baru
baik dengan menyempitkan, meluaskan maupun memberi makna baru. Seperti pada
kata papan yang semula bermakna lempengan kayu tipis kini diangkat menjadi
istilah untuk makna perumahan, kata teras yang semula bermakna inti atau
saripati kayu sekarang memiliki makna yang baru yaitu utama atau pimpinan.
2.
Jenis Perubahan Makna
Dalam bagian
ini akan diuraikan beberapa jenis perubahan makna yang terjadi dalam bahasa
Indonesia. Berikut pemaparannya :
1. Perubahan Meluas
Yang dimaksud perubahan yang meluas
adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya
memiliki sebuah makna tetapi kemudian karena berbagai factor menjadi memiliki
makna-makna yang lain. Proses
perluasan makna ini dapat terjadi dalam kurun waktu yang relative singkat
tetapi dapat juga dalam kurun waktu yang lama. Dan makna-makna lain yang
terjadi sebagai hasil perluasan makna itu masih berada dalam lingkup
poliseminya artinya masih ada hubungannya dengan makna asalnya.
2. Perubahan Menyempit
Perubahan menyempit merupakan suatu
gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang
cukup luas namun kemudian berubah menjadi terbatas hanya memiliki sebuah makna
saja.
3. Perubahan Total
Yang
dimaksud perubahan total yaitu suatu makna sebuah kata yang berubah total atau
berubah sama sekali dari makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang
dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal tapi
keterkaitannya ini tampaknya sudah jauh sekali.
4. Penghalusan (ufemia)
Penghalusan dalam perubahan makna
ini maksudnya adalah suatu gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk
yang dianggap memiliki makna yang lebih halus atau lebih sopan daripada yang
akan digantikan.
5. Pengasaran (disfemia)
Pengasaran yang dimaksud adalah
suatu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa
menjadi kata yang maknanya kasar. Usaha atau
gejala pengasaran ini biasanya dilakukan oleh orang dalam situasi yang tidak
ramah atau dalam keadaan jengkel.
3.
Medan Makna
dan Komponen Makna
a. Medan Makna
Medan makna
(semantic domain, semantik field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur
leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari
bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya,
nama-nama warna, nama-nama perabotan rumah tangga, yang masing-masing merupakan
medan makna.
Contoh: nama-nama warna, yang
termasuk medan warna antara lain :
- merah – hijau
- coklat – kuning
- biru – abu-abu
Kata-kata yang mengelompok dalam
satu medan makna, berdasarkan sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas
kelompok medan kolokasi dan medan set.
Ÿ Medan kolokasi menunjuk pada
hubungan sintagmantik yang terdapat antara kata-kata itu.
Contoh : cabe, bawang, terasi,
garam, merica. Kata-kata tersebut berada dalam satu kolokasi yaitu berkenaan
dengan bumbu dapur.
Ÿ Medan set menunjuk pada hubungan
paradigmatik, karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu saling
bisa disubstitusikan, biasanya mempunyai kelas yang sama dan merupakan satu
kesatuan.
Contoh : remaja, kanak-kanak,
dewasa. Remaja merupakan perkembangan dari kanak-kanak menjadi dewasa.
Semua ini bermanfaat bagi kita dalam
memahami konsep-konsep budaya yang ada dalam suatu masyarakat bahasa.
-
Komponen Makna
Makna yang
dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut
komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini
dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu per satu, berdasarkan
“pengertian-pengertian” yang dimilikinya. Umpamanya, kata ayah memiliki
komponen makna/ + manusia/, /+ dewasa/, /+ jantan/, /+ kawin/, dan /+ punya
anak. Perbedaan makna antara kata ayah dan ibu hanyalah pada ciri makna atau
komponen makna; ayah memiliki makna jantan, sedangkan ibu tidak memiliki kata
jantan.
Komponen Makna
|
Ayah
|
Ibu
|
1.
Insane
2. Dewasa
3.
Jantan
4.
kawin
|
+
+
+
+
|
+
+
_
+
|
Keterangan :
tanda + mempunyai komponen makna tersebut, dan tanda – tidak mempunyai komponen
makna tersebut.
Konsep
analisis dua-dua ini (lazim disebut anlisis biner) oleh para ahli kemudian
diterapkan juga untuk membedakan makna suatu kata dengan kata lain. Denga juga
dapat analisis biner ini kita juga dapat menggolong-golongkan kata atau unsur
leksikal sesuai dengan medan makna.
Ada tiga hal
yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis biner tersebut.
Pertama, ada pasangan kata yang satu diantaranya lebih bersifat netral atau umum sedangkan yang lain bersift khusus. Misalnya, pasangan kata
siswa dan siswi. Kata siswa lebih bersifat umum dan netral karena dapat
termasuk “pria” dan “wanita”. Sebaliknya kata siswi lebih bersift khusus karena
hanya mengenai “wanit” saja.
Kedua, ada kata atau unsur leksikal yang
sukar dicari pasanganya karena memang mungkin tidak ada, tetapi ada juga yang
memiliki pasangan lebih dari satu. Contoh yang sukar dicari pasanganya adalah
kata-kata yang berkenaan dengan nama warna. Contoh kedua yaitu contoh yang
pasanganya lebih dari satu, yaitu berdiri misalnya. Kata berdiri bukan hanya bias
dipertentangkan dengan kata tidur, tetapi bisa saja dengan kata tiarap, rebah,
duduk, jongkok dan berbaring.
Ketiga, kita sering kali sukar mengatur ciri-ciri semantic itu secara bertingkat,
mana yang lebih bersifat umum, dan mana yang lebih bersifat khusus. Contohnya,
ciri jantan dan dewasa, mana yang lebih bersifat umum antara jantan dan dewasa.
Bisa jantan, tetapi bisa juga dewasa sebab tidak ada alas an bagi kita untuk
menyebutkan cirri jantan lebih bersifat umum daripada dewasa, begitu juga
sebaliknya, karena ciri yang satu tidak menyiratkan makna yang lain.
-
Kesesuaian Sintaksis dan Semantis
Diterima tidaknya suatu
kalimat, bukan hanya masalah gramatikal tetapi juga masalah semnatik. Kesesuaian
semantik adalah persesuaian konstituen-konstituen yang membangun kalimat itu.
Contoh ketidaksesuaian semantik : segelas kambing, karena dua kata
tersebut tidak ada satupun yang cocok antara komponen makna yang satu dengan
yang satunya. Yang sesuai segelas air.
Kesesuaian sintaktik adalah penempatan bersama-sama kata-kata menjadi
kelompok kata atau kalimat.
Contoh ketidaksesuaian sintaktik : kambing membaca, karena kata
kambing + membaca tidak merupakan satu kelompok kata. Yang sesuai saya
(manusia) membaca.
Apabila kata-kata yang tidak sesuai semantik + sintaktiknya dibuat sebuah
kalimat maka kalimat tersebut akan tidak berterima.
Contoh:
- Si Udin makan rumput, karena Si Udin dan rumput tidak
mempunyai komponen makna yang sama, maka apabila kedua kata itu digabungkan
akan menjadi tidak berterima.
Kalimat yang benar adalah : Sapi (hewan) makan rumput.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat ditarik
kesimpulan Relasi makna adalah hubugan semantik yang terdapat
antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa
disini dapat berupa kata frase maupun kalimat; dan relasi semantik itu dapat
menyatakan kesamaan makna. Pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan
makna atau juga kelebihan makna. Dalam perubahan makna selalu ada hubungan (asosiasi)
antara makna lama dan makna baru, tidak peduli apapun yang menyebabkan
perubahan itu terjadi. Dalam beberapa hal, asosiasi bisa begitu kuat untuk
mengubah makna dengan sendirinya, sebagian lagi asosiasi itu hanyalah suatu
wahana untuk suatu perubahan yang ditentukan oleh sebab-sebab lain tetapi
bagaimanapun suatu jenis asosiasi akan selalu mengalami proses.
0 Response to "Makalah Semantik"
Post a Comment